Adat Ma’Barata
(mengorbankan manusia) pada upacara Rambu Solo’, adalah salah satu adat yang
diadakan disela-sela upacara Rambu Solo’ sebagai penghormatan serta sebagai
tanda kepahlawanan/keberanian dari seorang bangsawan atau pahlawan dalam perang
Topadatindo
dan perang saudara pada permulaan abad ke-17. adat Ma’Barata Bulan bukanlah aluk dalam Aluk Todolo, tetapi hanya sebagai adat (suatu kebiasaan) sehingga ketika pemerintah kolonial Belanda masuk di Toraja, adat ini telah di larang. Karena diangap hanyalah sebuah kebiasaan yang sangat tidak berprikemanuasiaan.
dan perang saudara pada permulaan abad ke-17. adat Ma’Barata Bulan bukanlah aluk dalam Aluk Todolo, tetapi hanya sebagai adat (suatu kebiasaan) sehingga ketika pemerintah kolonial Belanda masuk di Toraja, adat ini telah di larang. Karena diangap hanyalah sebuah kebiasaan yang sangat tidak berprikemanuasiaan.
Adat Ma’Barata
ini hanya dilakukan sebagai; Tanda penghormatan kepada seseorang pahlawan yang
telah mempertahankan kedaulatan negerinya dan kehormatan keluarganya serta
masyarakatnya. Dan sebagai tanda penghormatan kepada seseorang yang mati dalam
peperangan terutana dalam perang saudara dahulu di Toraja. Juga sebagai tanda
penghormatan kepada seseorang yang berjasa.
Adat Ma’Barata
ini hanya dilakukan pada upacara Rapasan, pesta adat Rambu Solo’ untuk seorang
pahlawan/ ksatria (pa’barani).
Kurban Barata
ini boleh saja laki – laki atau wanita yang ditangkap saat perang atau jika
tidak ada perang maka ditangkap dengan cara Mangaun (mengintip untuk menangkap)
dari orang – orang yang telah disepakati oleh para Topadatindo ( para ksatria). Menurut kesepakatan Topadatindo yang
dipegang oleh penerusnya, yang menjadi korban Barata adalah tawanan dalam
perang atau orang – orang yang tidak ikut dalam persatuan melawan Arung Palakka ( To
Ribang La’bo’, To Simpo Mataran) yang berasal dari daerah Karunanga, suatu daerah yang terletak
di bagian utara pegunungan Toraja. Orang – orang inilah yang selalu menjadi
buronan pada setiap saat adanya rencana adat Barata, itupun melalui pertarungan
karena orang yang diburu selalu mengadakan perlawanan dengan mati-matian. Orang
yang menjadi kurban Barata (jika tertangkap hidup=hidup) diikat tangannya dan
ditambatkan pada Simbuang Batu (batu tugu peringatan pada upacara “Rapasan”
yang berdiri di tengan Rante), menunggu saatnya dipancung. Oleh karena sering
terjadi perkelahian yang hebat dalam menangkap Kurban Barata, maka sering
Kurban Barata itu tak dapat ditangkap dengan hidup-hidup dan kurbannya
ditangkap dengan mati, jika demikian maka terpaksalah hanya diambil bagian kepala
dari pada kurban itu dan dibawah ketempat upacara adat ma’batara dilaksanakan.
Upacara Pemakaman sebagai tanda bahwa orang yang mati ini sudah dikurbankan manusia
untuknya sebagai tanda peranannya dimasyarakat pada masa hidupnya. Orang yang
diupacarakan dengan adanya Kurban Barata ini dinamakan To di Pa’barataan.
Saat ini masih
ada tongkonan-tongkonan yang berkuasa di Tana Toraja yang menyimpan
Kepala/tengkorak Manusia yaitu tengkorak manusia Kurban Barata atau kepala yang
dirampas dalam perang saudara di Tana Toraja, sebagai tanda bahwa turunan dari
tongkonan ini adalah turunan pemberani serta turunannya dahulu ada yang
dimakamkan dengan upacara adat Barata dan Tongkonan itu merupakan Tongkonan
Penguasa yang Pemberani
Sumber : tondokku toraya.blogspot.com
daerah " Karunanga", maksudnya apa
BalasHapus